A. Pendahuluan
Melihat komposisi elit koalisi Jokowi-JK baik sipil dan/atau purnawirawan maka sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa koalisi ini tidak lain adalah koalisi lembaga pemikir (think-tank) bernama Center for Strategic and International Studies (CSIS) yaitu:
1. Sipil: Jusuf Wanandi (bos CSIS); Sofyan Wanandi (bos Apindo dan CSIS); Jacob Soetoyo (elit CSIS, mempertemukan Jokowi-Megawati dengan dubes-dubes negara imperialis di rumahnya); Indra J. Piliang (politisi Golkar pendukung Jokowi-JK yang berlatar belakang peneliti CSIS); The Jakarta Post (koran milik CSIS); Marie Elka Pangestu (elit CSIS); Goenawan Mohamad/GM (pendiri Tempo, bawahan CSIS); Tempo (media milik GM dan Fikri Jufri, menerbitkan berita pesanan CSIS); Todung Mulya Lubis (lawyer bos CSIS), dkk;
2. Purnawirawan terdiri atas binaan Benny Moerdani dari CSIS, antara lain: Sutiyoso (Gubernur DKI saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998); Agus Widjojo; Fachrul Razi (klik Wiranto dan pengusul Jonny Lumintang sebagai Pangkostrad), Ryamizard Ryacudu (mertuanya Try Sutrisno agen Benny); Agum Gumelar-AM Hendropriyono (bodyguard Mega atas perintah Benny); Theo Syafei (via anaknya Andi Widjajanto); Fahmi Idris (rumahnya lokasi ide Kerusuhan 27 Juli 1996 dan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 pertama kali dilontarkan); Luhut Binsar Panjaitan (anak emas Benny Moerdani); Tyasno Sudarto; Soebagyo HS (KSAD saat Kerusuhan 13-14 Mei 1998); Wiranto (agen Benny di kabinet Soeharto); TB Silalahi; TB Hasanuddin, dkk.
(Anggota sipil dan militer yang terafiliasi CSIS secara bersama-sama akan disebut sebagai "Klik CSIS").
B. Ledakan Bom Tanah Tinggi Dan CSIS
Sosok Jokowi tidak akan diciptakan CSIS apabila tokoh belakang layar Partai Rakyat Demokratik/PRD yaitu Daniel Indrakusuma alias Daniel Tikuwalu yang dilatih gerilya oleh komunis Filipina dan berhubungan dekat dengan Max Lane, komunis Australia sekaligus donatur utama PRD pada Agustus 1997 tidak membuat PRD deklarasikan perlawanan bersenjata. Seruan tersebut ditindaklanjuti dengan kedatangan tiga pemuda ke Rumah Susun Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang untuk menyewa kamar Blok V, No. 510. Lokasi rumah susun tidak jauh dari kantor CSIS di Jl. Tanahabang III/27, Jakarta Pusat.
Menurut keterangan Ketua RT, ketiganya tidak bermasalah selama tinggal di sana sampai tiba-tiba hari Minggu, 18 Januari 1998 terjadi ledakan dari dalam kamar mereka karena percobaan merakit bom kecil yang gagal. Ketentuan rumah susun mengatur bila terjadi insiden maka listrik dimatikan, dan hal ini menyulitkan usaha tiga pemuda tadi untuk melarikan diri sehingga satu berhasil ditangkap sedangkan dua lainnya melarikan diri dengan luka bakar cukup serius. Orang yang ditangkap warga diketahui bernama Agus Priyono (kini Ketua PRD), aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID), organisasi sayap PRD dan belakangan aktivis PRD lain bernama Rahmat Basuki ditangkap di Jogjakarta.
Dari pemeriksaan aparat keamanan di lokasi ledakan ditemukan 52 alat bukti yang disita antara lain berupa: laptop berisi email, dokumen notulen rapat, beberapa paspor dan KTP antara lain atas nama Daniel Indrakusuma, buku tabungan, disket-disket, detonator, amunisi, baterai, timer dan lain sebagainya. Adapun isi e-mail dan dokumen yang ditemukan antara lain:
a. E-mail dari orang yang memakai nama "Dewa" berbunyi:
"Kawan-kawan yang baik! Dana yang diurus oleh Hendardi belum diterima [Dari Asia Watch], sehingga kita belum bisa bergerak. Kemarin saya dapat berita dari Alex [Widya Siregar] bahwa Sofjan Wanandi dari Prasetya Mulya akan membantu kita dalam dana, di samping itu bantuan moril dari luar negeri akan diurus oleh Jusuf Wanandi dari CSIS. Jadi kita tidak perlu tergantung kepada dana yang diurus oleh Hendardi untuk gerakan kita selanjutnya."
Pernyataan Dewa dibenarkan anggota PRD bahwa anak buah Sofyan Wanandi pernah menelpon mereka dan menawarkan bantuan dana sebesar US$ 15,000 yang sudah diambil sebagian sebelum bom meledak (Manuver Politik: Sofyan Wanandi & CSIS, Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia, 1998, hal. 21).
b. E-mail lain menyebut nama Surya Paloh, bos harian Media Indonesia yang antara lain menerangkan: "Peranan Surya Paloh pada surat kabar Media sangat membantu rencana kita dalam membakar massa."
c. Adapun dokumen lainnya adalah notulen berisi pertemuan “kelompok pro demokrasi” dengan penyandang dana mereka yang berlangsung di Leuwiliang, Bogor, 14 Januari 1998 yang dihadiri oleh 19 aktivis mewakili 9 organisasi terdiri dari kelompok senior dan kelompok junior yang merencanakan revolusi. Anggota kelompok senior adalah sebagai berikut:
Pertama, CSIS bertugas membuat analisis dan menyusun konsep perencanaan aktivitas ke depan.
Kedua, kekuatan militer yang diwakili oleh Benny Moerdani.
Ketiga, kekuatan massa yang pro Megawati Soekarnoputri.
Keempat, kekuatan ekonomi yang dalam hal ini diwakili oleh Sofjan Wanandi dan Yusuf Wanandi.
Atas penemuan dokumen di atas, Jusuf Wanandi, dan Sofyan Wanandi didampingi pengacaranya Todung Mulya Lubis telah diperiksa Bakortanasda Jaya. Kemudian peristiwa tersebut ditambah fakta Sofyan Wanandi menolak membantu negara yang terkena krisis moneter karena memikirkan diri sendiri membuat kantor CSIS diterjang demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang antara lain menuntut pembubaran lembaga ini. Semua kejadian ini membuat klik CSIS menjadi panik dan terlihat dalam tegangnya rapat konsolidasi pada hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat lokasi Kasebul) dan dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi Susastro, Clara Juwono, Danial Dakidae dan Fikri Jufri.
Ketegangan terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab Kristiadi menerima dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti Soeharto tapi sekarang CSIS malah menjadi sasaran tembak karena ketahuan mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak becus dan menggelapkan dana. Tuduhan ini dijawab dengan membeberkan penggunaan dana terutama kepada aktivis "kiri" di sekitar Jabotabek, misalnya Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga menunjukan berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS didemo, Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir digarap segera mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati bahwa Kristiadi menerima dana tambahan Rp. 5miliar (http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/02/21/0088.html).
Demi menyelamatkan CSIS yang sudah di ujung tanduk membuat klik CSIS segera merencanakan untuk menjatuhkan Presiden Soeharto dan Prabowo Soebianto. Hasil dari rencana tersebut adalah Kerusuhan 13-14 Mei 1998 sebagaimana direncanakan oleh Benny Moerdani di rumah Fahmi Idris yang juga dihadiri oleh Sofyan Wanandi. Menurut kesaksian George Junus Aditjondro, Jusuf dan Sofyan Wanandi adalah ekstrim kanan yang tidak peduli ras atau agama, dan karena itu Tionghoa, Kristen, dan Katolik bisa dihantam bila hal tersebut menguntungkan mereka. Bukankah mereka yang menghancurkan Gereja Katolik Timor Timur? Bukankah guru mereka, Ali Moertopo yang anak kiai itu justru mendiskriditkan Islam melalui DI/TII dan GUPPI? Bukankah David Jenkins, wartawan Australia dalam orbituari Benny Moerdani, "Charismatic, Sinister Soeharto Man" menulis:
"Hardened in battle and no stranger to violence, Moerdani believed that the ends justify the means...He once shocked members of an Indonesian parliamentary committee by saying, in effect, that if he had to sacrifice the lives of 2 million Indonesians to save the lives of 200 million Indonesians he would do so."
http://www.smh.com.au/articles/2004/09/09/1094530768057.html
16 tahun kemudian, Prabowo Soebianto, orang yang pernah mereka jatuhkan karena memimpin penyelidikan atas bom Tanah Tinggi malah tidak memiliki saingan untuk menjadi presiden Indonesia berikutnya. Tentu saja mereka kembali panik sebab bila Prabowo memimpin negeri ini maka kemungkinan besar semua kejahatan mereka di masa lalu khususnya periode 1998 terbongkar. Untuk itulah klik CSIS perlu menciptakan sosok lawan tanding Prabowo dan sosok tersebut adalah Jokowi.
Proses penciptaan Jokowi dimulai pada tahun 2008 dengan mengirim Agus Widjojo untuk menjajaki kerja sama dan setelah itu penggarapan Jokowi dilakukan oleh Luhut Panjaitan anak emas Benny Moerdani dengan kedok PT Rakabu Sejahtera sedangkan kegiatan memoles citra Jokowi diserahkan kepada Goenawan Mohamad dan grup Tempo. Selanjutnya dukungan negara-negara imperialis diatur oleh Jacob Soetoyo dan Sofyan Wanandi bersama Marie Elka Pangestu sejak tahun 2013 sudah melempar wacana duet Jokowi-JK dengan gelontoran dana minimal Rp. 2trilyun (http://m.rmol.co/news.php?id=129021). Keterlibatan Surya Paloh dan Megawati dalam ledakan bom Tanah Tinggi menjawab keanehan PDIP, dan NasDem begitu saja mendukung kursi presiden kepada Jokowi dan wakil presiden kepada Jusuf Kalla (http://m.rimanews.com/read/20140413/147888/duet-jokowi-jusuf-kalla-didukung-sofyan-wanandi-apindocsiskompas-mau-diumumkan).
Sumber: A.m. Panjaitan: http://m.kompasiana.com/post/read/674808/1/tidak-ada-jokowi-tanpa-bom-tanah-tinggi.html