Panasnya suhu geopolitik di Timur Tengah diramalkan semakin menjadi.
Arab Saudi, negara yang saat ini memimpin koalisi negara Arab dalam
memerangi Houthi di Yaman dan Islamic State (IS/ISIS), bakal menghadapi
eskalasi politik internal.
Pada tahun-tahun ini, negara warisan
Ibnu Saud ini diramalkan akan mengalami peralihan kekuasaan dari
generasi kedua ke generasi ketiga.Generasi kedua adalah anak-anak
pendiri kerajaan itu, yakni Abdul Aziz bin Saud. Sedangkan, generasi
ketiga adalah cucu-cucunya.
Dikutip dari artikel berjudul Saudi
dan Problem Suksesi, Ibnu Burdah,Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam,
Koordinator Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
(Republika, 23/2) menjelaskan, generasi kedua kerajaan yang tersisa
sebenarnya masih 11 pangeran dari sekitar 37 anak bin Saud.
Putra pendiri ada yang mengatakan 35, tapi juga ada yang menyebut hingga
45 pangeran. Yang menonjol dari 11 anak itu, di samping Raja Salman
adalah Muqrin bin Abdul Aziz yang sempat jadi putra mahkota.
Sementara itu, enam raja Saudi setelah bin Saud ada dua yang dari
Sudairi, yaitu Fahd bin Abdul Aziz dan Salman bin Abdul Aziz raja
sekarang. Sementara, dari keluarga non-Sudairi yang tersisa ada nama
yang cukup menonjol, yaitu Muqrin bin Abdul Aziz.
Peralihan
kekuasaan ini santer diberitakan dan jadi bahan diskusi penting di dunia
Islam mengingat arti penting wilayah Saudi bagi umat Islam. Terutama,
di saat-saat Raja Salman bin Abdul Aziz yang telah berusia sekitar 80
tahun itu beberapa kali harus menjalani operasi medis.
Tantangan
internal ini sungguh berat ketika Raja Salman nanti meninggal. Sebab,
Raja baru yang dikenal populer di kalangan penduduk Riyadh ini
"mengabaikan" 11 pangeran anak-anak bin Saud yang juga saudaranya.
Dan by pass, ia mengangkat pangeran Muhammad bin Nayif (generasi ketiga
dan tak memiliki keturunan laki-laki) dan Muhammad bin Salman (anaknya
sendiri) sebagai waliyyul 'ahdi (putra mahkota) dan waliyu waliyyul
'ahdi (deputi putra mahkota).
Ancaman paling besar tentu dari
klan Muqrin yang "dipecat" dari posisinya sebagai putra mahkota dan
"kroni" Raja Abdullah. Tak hanya itu, klan lain yang sangat menonjol,
seperti klan Faishal dan klan Sulthan dipreteli kekuasaannya.
Klan Sulthan (anak-anak Sulthan bin Abdul Aziz) dikenal sangat kuat.
Bandar bin Sulthan, salah satunya, adalah bekas kepala intelijen negeri
itu. Ia pernah dituduh berencana melakukan kudeta oleh Raja Abdullah dan
sempat diusir dari Saudi. Khlaid bin Sulthan, saudaranya, juga menjabat
kepala intelijen, tapi kemudian dipecat oleh Raja Salman.
Dari
jalur klan Faishal juga mengalami hal yang sama. Saud bin Faishal yang
menjabat menlu sekitar 40 tahun juga disingkirkan. Dan, gantinya bukan
dari klan itu, tetapi dari jalur nonkeluarga. Ini sungguh mengejutkan
dalam tradisi kerajaan itu. Belum lagi, anak-anak Raja Abdullah beserta
"kroninya" yang juga dipreteli kekuasaannya oleh Raja Salman.
Praktis kekuasaan Saudi sekarang ada di tangan dua pangeran, yaitu dua
putra mahkota. Mereka adalah Muhammad bin Nayif dan Muhammad bin Salman.
Namun, kekuasaan strategis dan de facto ada di tangan pangeran Muhammad
bin Salman yang masih berusia 30 tahun. Dengan berbagai cara, kekuasaan
Muhammad bin Nayif dibatasi dan ia sendiri tak mungkin mewariskan
kekuasaan, sebab tak punya anak laki-laki.
Kini, Muhammad bin
Salman adalah pemegang kendali Saudi, termasuk dalam perang di Yaman,
Suriah, dan lainnya. Langkah agresif Saudi di luar wilayahnya menjadi
pertaruhan besar pangeran muda ini dan kekuasaan ayahnya.
Agresifitas di luar itu memang bisa mengurangi persaingan keras
antarpangeran untuk sementara waktu. Raja Salman terkesan kuat
mengeksploitasi persoalan luar negerinya untuk membangun dominasi klan.
Sejauh ini, isu itu berhasil mengonsolidasikan kekuasaan Raja Salman dan
sang pangeran.
Namun, jika itu gagal, taruhannya sangat besar.
Perebutan kekuasaan antarklan keluarga bani Saud akan jadi ancaman masa
depan monarki itu
Posting Komentar